Tragedi Kanjuruhan Dunia Ikut Berduka

Bagikan

 

Opini Oleh : H.Abustan,S.H., M.H
Staf Pengajar HAM UID

 

Tak berlebihan jika dikatakan, semua manusia di jagat raya ini turut prihatin (respek) dan berduka atas tragedi sepak bola di Stadion Kanjuruhan Malang. Rasa duka itu nampak, ketika semua pertandingan sepakbola yang digelar di berbagai liga sebelum memulai pertandingan ke dua tim berdoa dan tampak ada pemain yang meneteskan air mata.

Begitu pun tak terkecuali, seorang pemimpin tertinggi Gereja Katolik Roma, Pope Francis II, turut mendoakan suporter Arema yang menjadi korban. Pemimpin 2 milyar umat ini memang terkenal juga gila bola dan fans berat klub sepak bola San Lorenzo dari Argentina.

Dan, tentu saja, kita pun berdoa semoga Allah mengampuni dosa para korban jiwa dan menerima segala amal ibadah semasa hidupnya. Semoga tragedi ini menjadi yang terakhir di dunia.

Akuntabilitas negara

Tak berlebihan kalau dikatakan, kasus ini merupakan tragedi kemanusiaan. Hal itu dibuktikan, hak hidup ratusan orang melayang begitu saja pasca pertandingan bola. Ini betul_betul tragedi kemanusiaan yang menyeramkan sekaligus memilukan. Dan, peristiwa ini kita semua melihat/memiliki bahwa ada penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh aparat keamanan negara, sehingga pengendalian massa seperti itu tak bisa dibenarkan apalagi dilakukan secara brutal yaitu menembakkan gas air mata ke arah penonton yang sesungguhnya dilarang dalam aturan FIFA (statuta).karena itu, tak ada pilihan lain kasus ini harus diusut tuntas.

Bahkan, kasus ini harus disikapi secara cepat dan tegas tanpa pandang bulu agar supaya berjalan obyektif/proporsional dengan cara membentuk tim gabungan pencari fakta. Bagaimanapun, peristiwa ini sangat menyayat perasaan kemanusiaan kita. Tragedi ini mengingatkan kita pada tragedi sepak bola serupa di Peru tahun 1964. Dimana saat itu lebih dari 300 orang tewas akibat tembakan gas air mata yang diarahkan polisi kekerumunan massa, lalu membuat ratusan penonton berdesak_desakan dan mengalami kekurangan oksigen.Pola ini juga yang terjadi di stadium Kanjurukan.

Asumsi dasar itulah, maka akuntabilitas negara benar_benar di uji dalam kasus ini. Karena itu, kita mendesak negara menyelidiki secara menyeluruh, transparan dan independen atas dugaan penggunaan kekuasaan berlebihan yang dilakukan aparat keamanan.

Selain itu, kita juga berharap pemerintah membentuk TGPF untuk mencari tahu siapa pelaku utama yang menyebabkan banyak korban yang meninggal. Dengan demikian, harus dibentuk tim gabungan pencari fakta.

Dalam konteks ini pula, kita berharap agar lembaga negara yang berkompeten juga harus cepat dan/atau pro aktif melakukan investigasi terkait dimensi_dimensi HAM dalam peristiwa ini.

Akhirnya, tragedi ini haruslah diakui, sebagai catatan hitam bagi dunia sepak bola tanah air. Apalagi, begitu banyak menelan korban sehingga menjadikan peristiwa ini sebagai salah satu tragedi “terdahsyat” sepanjang sejarah sepak bola.

Tercatat, peristiwa ini melebihi tragedi Heysel pada 29 Mei 1985, yaitu ketika laga final Liga Champions (European Cup) antara Liverpool lawan Juventus. Pada peristiwa tiga dekade lalu itu 39 orang meninggal dunia dan terukir sebagai momen kelam di dunia sepak bola.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *